- A. Preface
Fenomena
penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan semakin berkembang pesat,
tidak hanya di perbankan tetapi juga lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Di
sektor lembaga keuangan bank dikenal dengan perbankan syariah, sedangkan pada
lembaga keuangan bukan bank dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 49 huruf i
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terdiri dari lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi
syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah,
pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah,
dan bisnis syariah.
Adapun mengenai Baitul Maal wat
Tamwil (BMT) tercangkup dalam istilah lembaga keuangan mikro syariah.
Keberadaaan BMT ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam
pengembagan sektor ekonomi riil, terlebih bagi kegiatan usaha yang belum
memenuhi segala persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan dari lembaga perbankan
syariah.
BMT merupakan bentuk lembaga
keuangan dan bisnis yang serupa dengan koperasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Baitul tamwil merupakan cikal bakal lahirnya bank syariah pada
tahun 1992. Segmen masyarakat yang biasanya dilayani BMT adalah masyarakat
kecil yang kesulitan berhubungan dengan bank. Perkembangan BMT semakin marak
setelah mendapat dukungan dari Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK)
yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Apa peranan BMT dalam rangka
pemberdayaan sektor ekonomi riil; Bagaimana optimalisasi peran itu dalam
realitas kehidupan masyarakat; Apa yang menjadi kendala dalam upaya dimaksud;
Dan alternatif solusi yang dapat ditempuh untuk menghilangkan atau paling tidak
meminimalisir adanya kendala dimaksud, akan menjadi bahasan dalam artikel ini.
- B. Peranan BMT dalam Rangka Pemberdayaan Sektor
Usaha Mikro
Krisis moneter yang melanda bangsa
Indonesia pada 2008-2009 awal yang lalu menyebabkan sektor riil di kaum akar
rumput hampir lumpuh dengan banyaknya pengusaha yang ‘gulung tikar’ alias
mengalami kebangkrutan.
Dalam realitasnya, operasional bank
syariah belum dapat secara optimal menjangkau sektor usaha mikro di tingkat
akar rumput (grass root). Hal demikian karena ternyata bank syariah
sebagai lembaga intermediasi keuangan dalam menjalankan fungsinya menyalurkan
dana kepada masyarakat berupa memberikan pembiayaan masih mensyaratkan adanya
jaminan yang itu tidak mudah bisa dipenuhi oleh nasabah, khususnya nasabah
kecil. Di sisi yang lain fakta menunjukkan bahwa operasional bank syariah juga
terbatas di kota-kota, sedangkan pelaku sektor ekonomi riil juga sebagian
berada di desa-desa. Dengan demikian layanan yang diberikan oleh bank syariah
belum dapat menjangkau sektor ekonomi riil secara optimal.
Kondisi tersebut menjadi latar belakang
munculnya lembaga-lembaga keuangan mikro yang sudah menjangkau hingga ke
pedesaan-pedesaan atau yang dikenal dengan sebutan BMT. BMT dalam operasional
usahanya pada dasarnya hampir mirip dengan perbankan yaitu melakukan kegiatan
penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana
kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk pembiayaan, serta memberikan
jasa-jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Secara umum produk BMT dalam rangka
melaksanakan fungsinya tersebut dapat diklasifikasikan menjadi empat hal yaitu:
a. Produk penghimpunan dana (funding)
b. Produk penyaluran dana (lending)
c. Produk jasa
d. Produk tabarru’: ZISWAH
(Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan Hibah)
Dengan demikian sebagaimana namanya
BMT menjalankan dua misi, yaitu misi sosial (tabarru’) dan misi untuk
mendapatkan keuntungan (tamwil). Keduanya hendaknya mampu dilaksanakan
oleh BMT secara proporsional.
Penjelasan mengenai produk BMT
dengan mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, produk
penghimpunan dana yang ada di BMT pada umumnya berupa simpanan atau tabungan
yang didasarkan pada akad wadiah dan akan mudharabah. Untuk itu
dalam BMT dikenal adanya dua jenis simpanan yaitu simpanan wadiah dan
simpanan mudharabah.
Secara fikih akad wadiah
ditinjau dari boleh tidaknya penerima titipan untuk memanfaatkan barang titipan
tersebut dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
- Wadiah al-Amanah, yaitu
akad wadiah yang mana pihak yang menerima titipan tidak boleh
memanfaatkan barang yang dititipkan.
- Wadiah ad Dhamanah, yaitu
akad wadiah yang mana pihak yang menerima titipan diperbolehkan
untuk memanfaatkan uang/barang yang dititipkan, dengan ketentuan bahwa
sewaktu-waktu pemilik barang membutuhkan uang/barang yang bersangkutan
masih utuh.
BMT akan menggunakan akad Wadiah
ad Dhamanah dalam produk simpanannya, sehingga ia dapat menggunakan dana
yang disimpan oleh nasabah untuk kegiatan produktif. Hal demikian juga mendatangkan
keuntungan bagi nasabah, yakni bahwa nasabah dimungkinkan mendapatkan bonus
yang besarnya tergantung pada kebijaan BMT dan tidak boleh diperjanjikan di
muka. Melalui simpanan wadiah nasabah BMT terhindar dari risiko
kerugian, akan tetapi potensi penghasilan atau keuntungan yang akan diperoleh
juga kecil karena sangat tergantung pada kebijakan dari BMT yang bersangkutan.
Dalam hal nasabah BMT menghendaki
uang yang di simpan juga memberikan tambahan pendapatan atau memang ditujukan
sebagai sarana investasi maka BMT biasanya juga menyediakan produk simpanan
yang di dasarkan pada akad mudharabah. Melalui simpanan mudharabah
nasabah berpeluang mendapatkan penghasilan yang besarnya sesuai dengan nisbah
bagi hasil yang telah diperjanjikan di awal akad. Namun demikian nasabah yang
memakai skema simpanan mudharabah juga menanggung risiko kerugian atas
uang yang ia simpan.
Kedua, produk
penghimpunan dana yang di sediakan oleh BMT bisa mendasarkan pada akad-akad
tradisional Islam, yakni akad jual beli, akad sewa-menyewa, akad bagi hasil,
dan akad pinjam meminjam.
- 1. Jual Beli
Jual beli intinya adalah akad antara
penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli, dimana obyeknya adalah
barang dan harga. Adapun penerapan dari akad jual beli ini dalam transaksi BMT
tampak dalam produk pembiayaan murabahah, salam, dan istishna.
Dengan demikian akad jual beli hanya dapat diterapkan pada produk perbankan
berupa penyaluran dana. Adapun pengertian dari masing-masing jenis pembiayaan
dimaksud adalah sebagai berikut:
- Murabahah,
adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin
keuntungan yang disepakati.
- Salam, adalah jual beli barang
dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai
terlebih dahulu secara penuh.
- Istishna,
adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai
dengan kesepakatan.
Implementasi akad murabahah, salam,
dan istishna, khususnya dalam praktik BMT secara teknis dapat dibaca
dalam Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN MUI No.
05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, dan Fatwa DSN MUI No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna.
- 2. Bagi Hasil
Penerapan akad bagi hasil dalam
transaksi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) inilah yang lebih dikenal di
masyarakat karena memang fungsinya sebagai pengganti bunga. Akad ini unik,
karena dalam praktik BMT bisa diterapkan dalam dua sisi sekaligus, yaitu sisi
penghimpunan dana (funding) dan sisi penyaluran dana (lending).
Implementasi akad bagi hasil dalam
produk BMT di bidang penghimpunan dana sebagaimana disebut di atas dalam bentuk
simpanan, sedangkan implementasinya dalam produk penyaluran dana adalah pada
produk Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. Secara
teknis mengenai penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan dapat
dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh) dan untuk penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan dapat
dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah.
- 3. Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa merupakan perjanjian
yang obyeknya adalah manfaat atas suatu barang atau pelayanan, sehingga bagi
pihak yang menerima manfaat berkewajiban untuk membayar uang sewa/upah (ujrah).
Dalam praktik BMT akad sewa-menyewa ini diterapkan dalam produk penyaluran dana
berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik
(IMBT), yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa
atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Secara teknis mengenai
penerapan akad ijarah di BMT dapat mengacu pada Fatwa DSN MUI No.
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
- Ijarah Muntahia Bit Tamlik
(IMBT), adalah transaksi sewa-menyewa yang memberikan hak opsi di akhir
masa sewa bagi pihak penyewa untuk memiliki barang yang menjadi obyek sewa
melaluai mekanisme hibah ataupun melalui mekanisme beli. Secara teknis
mengenai implementasi IMBT ini dapat dibaca dalam ketentuan Fatwa DSN MUI
No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.
4. Pinjam-meminjam yang Bersifat Sosial
Dalam sistem konvensional produk
penyaluran dana berupa kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam dengan
ketentuan bahwa nasabah debitur wajib membayar bunga berdasarkan presentase
tertentu terhadap pokok pinjaman. Ini merupakan riba, yang jelas-jelas dilarang
dalam Islam. Dalam Islam akad pinjam-meminjam juga disediakan tetapi hanya pada
keadaan emergency, artinya bahwa pinjaman akan diberikan hanya kepada
nasabah yang benar-benar membutuhkan uang. Pihak BMT selaku pemberi pinjaman
dilarang meminta imbalan betapapun kecilnya, karena itu termasuk riba.
Dalam operasional BMT transaksi
pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama pembiayaan qardh, yaitu pinjam
meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok
pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Ada juga qardh
al-hasan (pinjaman kebajikan), yang pada dasarnya dalam hal nasabah
tidak mampu mengembalikan, maka seyogyanya pihak pemberi pinjaman bisa
mengikhlaskannya. Secara teknis mengenai pembiayaan qardh ini mengacu
pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh.
Ketiga, produk
jasa merupakan produk yang saat ini banyak dikembangkan oleh LKS termasuk BMT,
karena melalui produk ini bank akan mendapatkan pendapatan berupa fee.
Dengan semakin banyaknya jenis produk jasa yang diberikan oleh BMT kepada
nasabahnya, maka semakin besar pula pendapatan BMT yang bersangkutan dari
sektor ini. Adapun mengenai produk jasa misalnya di dasarkan pada akad wakalah.
BMT berdasarkan akad wakalah ini dapat memberikan jasa, misalnya dalam
perpanjangan STNK, SIM, KTP, dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah berperan
sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat yang mempunyai dana lebih
(surplus unit) dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan
dana (deficit unit). Dalam rangka optimalisasi peranan BMT untuk
pengembangan sektor ekonomi riil, maka fungsi BMT di bidang penyaluran dana
khususnya dalam bentuk pembiayaan produktif perlu lebih ditingkatkan.
- C. Optimalisasi Peranan BMT dalam Realitas
Kehidupan Masyarakat
Peranan BMT di bidang penyaluran
dana kepada masyarakat dunia usaha yang bergerak di sektor ekonomi riil perlu
dioptimalkan. Adapun salah satu caranya selain peningkatan kapabilitas dan
profesionalitas para pengelolanya, juga diperlukan pemahaman terhadap kondisi
setempat dimana sebuah BMT berada. BMT yang berada di sekitar masyarakat
petani, tentu berbeda dengan BMT yang ada di sekitar masyarakat pedagang.
Optimalisasi peran BMT dalam
pengembangan sektor riil secara prinsip dapat dilakukan dengan mengenal
motivasi dari nasabah atau calon nasabah ketika mereka mengajukan permohonan ke
BMT. Adapun beberapa motivasi nasabah atau calon nasabah berikut jenis pembiayaan
yang sesuai dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Nasabah atau calon nasabah yang menginginkan
barang modal atau barang konsumtif dengan maksud untuk dimiliki, maka
dengan melihat karakteristik pembiayaan sebagaimana tersebut di atas dan
setelah melalui studi kelayakan (feasibility study), ia dapat
diberikan pembiayaan murabahah.
- Nasabah atau calon nasabah yang menginginkan
modal kerja atau tambahan modal kerja, maka dengan melihat karakteristik
pembiayaan sebagaimana tersebut di atas dan setelah melalui studi
kelayakan (feasibility study), ia dapat diberikan pembiayaan mudharabah/pembiayaan
musyarakah.
- Nasabah atau calon nasabah yang menginginkan
manfaat atas suatu barang, maka dengan melihat karakteristik pembiayaan
sebagaimana tersebut di atas dan setelah melalui studi kelayakan (feasibility
study), ia dapat diberikan pembiayaan ijarah. Dan apabila
nasabah atau calon nasabah menghendaki kepemilikan atas barang di akhir
masa sewa maka tepat jika ia diberi pembiayaan IMBT.
- Nasabah atau calon nasabah yang membutuhkan uang
tunai karena adanya kebutuhan yang mendesak (emergency), maka
dengan melihat karakteristik pembiayaan sebagaimana tersebut di atas dan
setelah melalui studi kelayakan (feasibility study) ia dapat diberi
produk berupa pembiayaan qardh/qardh al hasan.
Melalui peningkatan kapabilitas dan
profesionalitas para pengelola BMT, serta kepekaan melakukan analisis
pembiayaan sehingga dapat memberikan pembiayaan yang tepat bagi nasabah atau
calon nasabah maka optimalisasi peranan BMT di sektor ekonomi riil dapat
dilaksanakan dengan semestinya. BMT yang berperan secara optimal dapat
memberikan andil dalam pembangunan nasional, sehingga diharapkan kesejahteraan
masyarakat dapat terwujud secara adil dan merata.
- D. Kendala dalam Pengelolaan BMT dalam Rangka
Pemberdayaan Usaha Mikro
Banyak kendala-kendala yang menjadi
hambatan pengelolaan BMT dalam pemberdayaan sektor riil. Kendala-kendala
tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kendala internal dan kendala
eksternal.
Kendala internal adalah kendala yang
disebabkan karena faktor dari dalam BMT itu sendiri. Hal ini nampak pada adanya
fakta bahwa banyak dijumpai pengurus atau pengelola BMT belum memahami tentang
prinsip-prinsip syariah dan juga prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar.
Atau dengan kata lain belum terpenuhinya sumber daya insani yang mumpuni
di bidang ekonomi syariah, sehingga dalam praktiknya BMT seringkali menjadi
sama dengan lembaga keuangan konvensional yang jauh dari nilai-nilai Islami.
Adapun kendala eksternal adalah kendala
yang disebabkan oleh faktor dari luar BMT, seperti masih adanya budaya
masyarakat yang belum sepenuhnya menerima eksistensi lembaga keuangan syariah
karena di anggap njlimet dan tidak terprediksi. Kendala pada aspek hukum
juga masih dijumpai, yakni terkait dengan status hukum BMT yang pada umumnya
adalah koperasi. Menurut ketentuan hukum koperasi memerlukan aspek legal lain
jika ingin melakukan kegiatan penghimpunan dana. Fungsi BMT yang hampir
mirip-mirip dengan bank, yakni sebagai lembaga intermediasi keuangan belum
mendapatkan pijakan hukumnya yang kokoh.
Adanya kendala dimaksud perlu segera
dicarikan jalan keluarnya, agar BMT sebagai lembaga dengan target market
sektor riil berupa usaha-usaha kecil dapat menjalankan perannya dan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat.
- E. Alternatif Solusi untuk Mengatasi/Mengurangi
Kendala-Kendala Menuju Kinerja BMT yang Optimum
Kendala berupa masih rendahnya
sumber daya insani yang memahami pengelolaan lembaga keuangan berdasarkan
prinsip syariah, khususnya bagi BMT yang baru berdiri dapat diatasi dengan
proses magang pada BMT lain yang sudah memiliki kredibilitas dalam
operasionalnya. Di samping itu juga dapat melalui partisipasi dalam program
pelatihan ekonomi syariah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga terkait.
Dalam mengatasi kendala-kendala yang
terjadi, sektor hukum juga mempunyai peran penting di dalamnya. Adapun untuk
mencapai keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan pembiayaan kepada masyarakat,
BMT dapat menerapkan prinsip-prinsip berikut:
- Prinsip kehati-hatian (prudential principle)
dalam melaksanakan kegiatannya, terutama dalam pemberian pembiayaan kepada
masyarakat.
- Prinsip mengenal nasabah (know your customer
principle), hal ini lebih menekankan aspek karakter nasabah.
- Secara internal perlu menerapkan prinsip-prinsip Good
Corporate Governance, yang meliputi transparancy, accountability,
responsibility, independency, and fairness.
Kemudian dalam rangka pemasaran produk-produk
BMT kepada masyarakat, ada beberapa strategi yang dapat ditempuh oleh pengelola
BMT yang bersangkutan antara lain yaitu:
- Meluruskan niat, bahwa niat pengelola yang utama
adalah berupa niat untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan diniatkan
ibadah, maka seorang pengelola akan mendapatkan dua macam keutamaan yakni
berupa pahala dan keberhasilan dalam pengelolaan BMT.
- Memperhatikan ulama. Ulama adalah tokoh yang
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat sehingga pengurus BMT dapat
menjalin kerjasama saling menguntungkan dengannya untuk kepentingan
sosialisasi mengenai lembaga keuangan yang dikelola berdasarkan prinsip
syariah dimaksud.
- Memperluas jaringan kerjasama. BMT dapat menjalin
kerjasama dengan BMT lain, Bank Syariah, Pemerintah, dan siapa saja yang
memiliki minat dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam dalam
kehidupan bermasyarakat.
- Metode jemput bola. Metode ini perlu ditempuh
untuk mengakselerasi perkembangan BMT, misalnya dengan pembentukan unit
khusus yang menawarkan produk BMT dari rumah ke rumah.
Strategi pemasaran tersebut
sama-sama penting dan saling menguatkan dalam rangka optimalisasi peran BMT.
Setelah keempat pendekatan di atas
dilalui, selanjutnya perlu dikembangkan langkah-langkah sebagai berikut:
- Pengelola BMT harus mampu bertindak jujur,
amanah, serta profesional di bidangnya, yang diwujudkan dengan
mengedepankan transparansi manajemen, keikhlasan menerima kritik dan
saran, bijaksana dalam mengambil keputusan penting, memberikan pelayanan
terbaik.
- Memilih produk-produk yang tepat: sederhana,
tidak terlalu berisiko, dan memiliki nilai jual yang tinggi.
- F. Penutup
Demikian sekilas pembahasan mengenai
optimalisasi peranan BMT sebagai penggerak sektor ekonomi riil. Perkembangan
sektor ekonomi riil akan dapat berlangsung dengan cepat ketika didukung oleh
tersedianya sumber dana yang memadahi dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan.
BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah sudah saatnya berbenah diri untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana bagi pengembangan kegiatan usaha.
Adanya merupakan salah satu kontribusi bagi suksesnya proses pembangunan,
sehingga pelan tapi pasti dapat mengikis atau mengurangi jumlah penduduk miskin
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umar, 2000, Islam dan
Pembangunan Ekonomi, pent. Ikhwan Abidin Gema Insani Press.
Khan, 1997, Muhammad Akram ‘The Role
of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences,
Vol. 14, No. 2.
Muhamad, 2006, Perkembangan
Bisnis dan Keuangan Syariah di Indonesia dalam Bank Syariah, Analisis Kekuatan,
Kelemahan, dan Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia.
Rizky, Awalil, 2007, BMT: Fakta
dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil, Yogyakarta: UCY Press.
SM, Makhalul Ilmi, 2002, Teori
dan Praktik Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Yogyakarta: UII Press.
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000
tentang Murabahah
Fatwa DSN MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam
Fatwa DSN MUI No. 06/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Istishna
Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Musyarakah
Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Ijarah
Fatwa DSN MUI No.
27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al- Tamlik
Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000
tentang al Qardh