Jumat, September 05, 2008

Rekomendasi Seminar Nasional Zakat

Rabu, 27 Agustus 2008
Ruang Multimedia Soemadipraja & Taher FH UI Depok


Bismillahirrahmanirrahim,

Setelah menimbang materi yang disampaikan narasumber dan masukan dari peserta selama seminar berlangsung, maka langkah yang paling tepat dalam kaitannya revisi UU Pengelolaan Zakat adalah mendorong pemerintah menjadi regulator dan pengawas. Fungsi pemerintah, dalam era partisipasi masyarakat tak lain menjadi penengah dan pembuat kebijakan perzakatan agar perannya makin optimal. Sehingga dengan demikian lembaga amil zakat yang didirikan masyarakat dan selama ini telah mendapat kepercayaan akan semakin dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola dana zakat, infaq, dan shadaqah mereka.

Seiring berkembangnya partisipasi masyarakat dalam menanggulangi problematika kemiskinan bangsa, khususnya melalui aktifitas yang penuh semangat dan tranparan, bahkan menginspirasi meluasnya tanggungjawab sosial di tengah bangsa Indonesia, maka seminar ini merekomendasikan :

Pengaturan dan pengawasan pengelolaan zakat di Indonesia perlu ditangani oleh sebuah lembaga negara yang pembentukannya berdasarkan Undang-Undang. Hal ini bisa berupa Badan Zakat Nasional (BZN).
BZN berkantor di ibukota negara, dan dapat memiliki kantor wilayah di tingkat propinsi.
BZN adalah regulator dan pengawas perzakatan di Indonesia dan merupakan lembaga satu-satunya yang berwenang mengeluarkan dan mengawasi peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang mengatur pengelolaan zakat.
Operator (penghimpun dan pengelola zakat) hanya dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ). Karena itu Badan Amil Zakat (BAZ) yang ada saat ini didorong sepenuhnya untuk menjadi BZN yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas. Maka, jika BZN, baik Baznas maupun Bazda tetap ingin mengelola zakat, mereka harus berubah menjadi Lembaga Amil Zakat. Jadi tidak ada dikotomi antara LAZ dan BAZ. Yang ada hanyalah LAZ swasta dan LAZ pemerintah sebagaimana dalam dunia perbankan yang hanya mengenal Bank Swasta dan Bank Pemerintah.

Semoga Allah SWT meridhoi upaya kita dalam melakukan penataan zakat di Indonesia.

Wabillahi taufiq wal hidayah

Depok, 27 Agustus 2008

Rekomendasi ini disepakati oleh

Circle of Information and Development (CID)
Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Forum Zakat (FOZ)
Narasumber: Mulya E. Siregar dan Wiwin P. Sujito serta Rohani Budi.
Lembaga Amil Zakat
Seluruh peserta yang hadir pada acara seminar Nasional Zakat

Minggu, Mei 18, 2008

Sibuk Mengurus Hati


Suatu ketika, seorang Arab datang ingin berguru kepada Abu Said Abul Khair, seorang tokoh sufi yang terkenal karena karamahnya dan gemar mengajar tasawuf di pengajian-pengajian. Rumah guru sufi itu terletak di tengah-tengah padang pasir. Ketika orang itu tiba, Abul Khair sedang memimpin majlis simaan (acara mendengarkan orang membaca doa, -red.) di tengah para pengikutnya. Waktu itu Abul Khair membaca Al-Fatihah. Ia tiba pada ayat: ghairil maghdubi alaihim, wa laz zalim. Orang Arab itu berfikir, '?Bagaimana mungkin aku boleh berguru kepadanya. Baca Al-Quran saja, ia tidak boleh. Orang itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair. Begitu orang itu keluar, ia dihadang oleh seekor singa padang pasir yang buas. Ia mundur tetapi di belakangnya ada seekor singa lain yang menghalanginya. Lelaki Arab itu menjerit keras karena ketakutan. Mendengar teriakannya, Abul Khair turun keluar meninggalkan majlisnya. Ia menatap kedua ekor singa itu dan menegur mereka, Bukankah sudah kubilang jangan ganggu para tamuku!? Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair. Sang sufi lalu mengelus telinga keduanya dan menyuruhnya pergi. Lelaki Arab itu kehairanan, Bagaimana Anda dapat menaklukkan singa-singa yang begitu liar? Abul Khair menjawab, Aku sibuk memperhatikan urusan hatiku. Untuk kesibukanku memperhatikan hati ini, Tuhan menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Sedangkan kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta.

Jangan Mengubur Harapan

Mari kita renungi, mungkin sering kita ucapkan atau setidaknya kita sering mendengar suatu ungkapan. Ungkapan tersebut berbunyi “Ah, uang dari mana untuk membelinya?” Perkataan ini keluar saat orang tersebut merasa tidak punya uang untuk membeli kebutuhannya. Ada juga yang mengatakan, “Bukannya tidak mau mengkuliahkan anak, tetapi uang dari mana?” Dan berbagai uangkapan senada lainnya. Apakah ini menjadi masalah?
Tentu saja. Ada beberapa impilakasi dari ungkapan ini yang sebenarnya tidak baik untuk keberhasilan kita. Jika terus saja kita mengucapkan kalimat seperti ini, bisa jadi akan menghambat keberhasilan kita dalam hidup.
Pertama, kita mendahului ketentuan Allah. Kata siapa kita tidak akan punya uang terus? Boleh saja kita tidak memiliki uang saat ini, tetapi bukan berarti tidak akan punya uang selamanya. Bisa saja besok atau lusa kita akan mendapatkan uang. Bisa saja Allah sudah merencanakan rezeki buat kita, kita tidak pernah tahu.
Kedua, jika dilihat dari segi Hukum Daya Tarik, kalimat tersebut tidak mencerminkan proses penerimaan. Bagaimana Anda bisa menarik apa yang Anda inginkan jika Anda tidak dalam kondisi menerima?
Ketiga, melemahkan motivasi. Jika kita sudah mengatakan bahwa kita tidak akan mendapatkannya maka kita akan kehilangan motivasi untuk mendapatkan keinginan kita. Meskipun, Anda boleh berkata bahwa itu hanya basa basi, tetapi pikiran bawah sadar kita tidak mengetahui apakah itu basa basi atau serius.
Ungapan tersebut sama dengan kita mengubur harapan kita sendiri. Meski hanya sebagian harapan kita yang terkubur, tetap saja memberikan kontribusi dalam mengurangi motivasi diri kita. Padahal, seperti yang dijelaskan pada ebook saya, Motivasi Diri, bahwa salah satu pemicu motivasi adalah adanya harapan untuk meraih apa yang kita inginkan.
Mulai sekarang, marilah kita lebih memperhatikan apa yang kita katakan. Ucapan, perkataan, perbincangan, dan pikiran kita mempengaruhi keberhasilan kita. Sadar atau tidak sadar, tetapi hal ini terjadi. Alangkah baiknya jika kita ganti dengan kata-kata yang lebih positif. Misalnya:
“Insya Allah, kita akan mendapatkannya.”“Insya Allah, kita bisa membelinya.”
dan berbagai kalimat positif lainnya yang memberikan harapan positif kepada kita.