Senin, Februari 16, 2009

Madinah Di Awal Hijrah

Oleh: Mochamad Bugi
dakwatuna.com - Kehidupan generasi pertama kaum muslimin penuh dengan ujian, penderitaan, dan fitnah. Di Mekah mereka mendapat tekanan dan menanggung penganiayaan dari kaum Quraisy. Karena itulah, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Madinah.
Meski sudah hijrah ke Madinah, ancaman kaum Quraisy tidak surut. Bahkan, meningkat. Maklum, perlindungan kaum Anshar terhadap kaum muslimin Muhajirin dari Mekah, dianggap kaum Quraisy sebagai ancaman yang membahayakan eksistensi dan martabat mereka. Karena itu, Rasulullah saw. dan para sahabat sadar betul bahwa kota Madinah bisa diserang setiap saat oleh kaum Quraisy.
Kesadaran itu membuat seluruh kota Madinah siaga satu. Mereka tidak pernah tidur kecuali dengan memeluk senjata. Kondisi ini digambarkan oleh Aisyah r.a., “Sesampai di Madinah, Rasulullah saw. tidak pernah tidur semalaman. Lalu beliau bersabda, ‘Seandainya ada salah seorang sahabatku yang melindungiku malam ini.’”
Aisyah melanjutkan, “Ketika kami semua juga susah tidur, tiba-tiba kami mendengar suara denting pedang. Maka Rasulullah berkata, ‘Siapa itu?’ Lalu terdengar jawaban, ‘Saad bin Abi Waqqash.’ Kemudian Rasulullah saw. bertanya, ‘Apa yang membuatmu datang ke sini?’ Saad menjawab, ‘Diriku sangat khawatir akan keselamatan Rasulullah sehingga aku datang untuk menjaganya.’ Lantas Rasulullah memanggil Saad, dan kemudian beliau baru tidur.” (Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, juz 10, hal. 159-160. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, juz 3, hal. 301).
Hari-hari pun terus berlalu. Perintah Allah swt. untuk berperang melawan kekafiran secara frontal pun turun. Para sahabat menjalankan perintah itu, namun masih diliputi rasa khawatir dan was-was. Kemana pun pergi, mereka membawa senjata, siang dan malam. Sampai-sampai seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, akan selamanyakah kita hidup dalam ketakutan seperti ini? Tidakkah akan datang suatu hari dimana kita dapat merasakan keamanan dan meletakkan senjata?”
Rasulullah saw. menjawab, “Kalian tidak akan bersabar terlalu lama hingga seseorang di antara kalian memimpin sebuah masyarakat besar dengan penuh kasih sayang dan tidak bertindak sewenang-wenang. Sebab, Allah saw. telah berfirman, ‘Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sunguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa’.”
Sabar. Tabah. Itu dua hal yang ditekankah Rasulullah saw. kepada para sahabat. Apalagi musuh bukan hanya datang dari luar. Ketika sampai di Madinah, Rasulullah saw. mendapati penduduk yang heterogen: ada muslimin, musyrikin penyembah berhala, dan ada juga kaum Yahudi.
Ancaman juga datang dari kalangan Yahudi. Salah satunya dari Syas bin Qais. Tetua Yahudi ini sangat tidak suka dengan kerukunan kaum Aus dan Khazraj di suatu majelis yang ia saksikan. Sebelum Islam datang, kedua kaum ini bermusuhan. Dan, kaum Yahudi selalu mendapat keuntungan dari peperangan mereka. Karena itu, Syas meminta seorang pemuda Yahudi untuk memprovokasi. Katanya, “Temuilah orang-orang itu dan duduklah bersama mereka. Lalu ungkit kembali Perang Bu’ats dan peperangan lain yang pernah terjadi di antara mereka. Lantunkan juga syair-syair yang pernah mereka lontarkan untuk saling mengejek sesama mereka!”
Provokasi pemuda Yahudi itu berhasil. Para sahabat yang berasal dari kalangan Aus dan khazraj saling berhadapan. Mereka melompat ke atas kuda-kuda mereka dengan penuh amarah meneriakkan kata, “Perang!”
Rasulullah saw. dan kalangan Muhajirin bergegas menemui mereka. “Wahai kaum muslimin!” panggil Rasulullah saw. kepada mereka. “Ingatlah Allah! Berdzikirlah kalian kepada Allah! Adakah kalian ingin kembali menjadi jahiliyah sedangkan aku sudah berada di tengah-tengah kalian, Allah telah memberi petunjuk kepada kalian hingga memeluk Islam, Allah juga sudah memuliakan kalian, memutuskan kejahiliyahan dari kalian, menyelamatkan kalian dari kekufuran dan menyatukan hati kalian dengan Islam?”
Orang-orang Aus dan Khazraj tersentak. Mereka sadar telah termakan provokasi. Mereka menangis. Menyesal. Saling berpelukan dan saling bermaafan.
Rongrongan sekali lagi datang. Kali ini dari kaum musyrikin Madinah. Sebelum Perang Badar, Rasulullah saw. bermaksud mengunjungi Sa’ad bin ‘Ubadah. Nabi saw. yang dikawal Usamah bin Zaid, menunggangi keledai dengan kecepatan cukup tinggi meliwati sebuah perkumpulan yang dihadiri orang-orang musyrikin, Yahudi, para penyembah berhala, dan beberapa orang kaum muslimin.
Abdullah bin Ubay bin Syahlul yang belum masuk Islam ketika itu, menutup hidungnya dengan sorban karena debu yang mengebul. Ia berkata Rasulullah saw., “Hai, kalian jangan menghamburkan debu-debu itu kepada kami.”
Rasulullah saw. pun berhenti dan menghampiri mereka. Setelah memberi salam, Rasulullah saw. mengajak orang-orang yang hadir di perkumpulan itu untuk menyembah Allah. Rasulullah saw. membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Melihat itu Abullah bin Ubay tidak senang. Ia berkata, “Hai manusia, tidak ada kata-kata sebaik yang engkau ucapkan. Tapi, jika ucapanmu itu memang benar, janganlah kau sakiti kami dengan kata-kata itu di dalam majelis kami ini. Naiklah ke kendaraanmu lagi dan tinggalkan kami. Dan kepada siapa saja yang datang kepadamu, ceritakanlah kejadian ini kepadanya.”
Abdullah Rawahah yang juga ada di perkumpulan itu menyela, “Tidak, ya Rasulullah. Engkau boleh memenuhi majelis kami ini dengan seruan-seruanmu itu. Sebab, sesungguhnya kami sangat menyukai ajakan-ajakanmu itu.”
Akibatnya, perkumpulan itu ribut. Terjadi percekcokan antara kaum muslimin berhadapan dengan kaum musyrikin yang didukung kaum Yahudi. Bahkan, hampir terjadi baku hantam. Namun, Rasulullah saw. berhasil menenangkan mereka.
Begitulah suasana Madinah di awal-awal hijrah. Selalu saja ada desas-desus yang ditiupkan kalangan yang memusuhi Islam. Rasulullah saw. mendidik para sahabat untuk senantiasa berjiwa besar, pemaaf, dan lapang dada serta berupaya mempersempit kesempatan musuh yang secara diam-diam berkonspirasi untuk merongrong dan mengikis kekuatan umat Islam yang sedang tumbuh. Kaum muslimin sadar betul bahwa mereka harus menggalang kekuatan untuk menghadapi serangan yang setiap saat akan datang dari kekuatan besar di luar Madinah: pasukan kaum Quraisy. Itulah salah satu alasan strategisnya Perjanjian Madinah ditandatangani Rasulullah saw.: untuk meredam ancaman dari dalam kota Madinah yang berasal dari kalangan Yahudi dan kaum musyrikin.

Allah Tidak Tidur

Malam telah larut saat saya meninggalkan kantor. Telah lewat pukul 11 malam.Pekerjaan yang menumpuk, membuat saya harus pulang selarut ini. Ah, hari yangmenjemukan saat itu. Terlebih, setelah beberapa saat berjalan, warna langittampak memerah. Rintik hujan mulai turun. Lengkap sudah, badan yang lelahditambah dengan “acara” kehujanan.
Setengah berlari saya mencari tempat berlindung. Untunglah, penjual nasi gorengyang mangkal di pojok jalan, mempunyai tenda sederhana. Lumayan, pikir saya.Segera saya berteduh, menjumpai bapak penjual yang sendirian, ditemani rokok danlampu petromak yang masih menyala. Dia menyilahkan saya duduk. “Disini saja dik,daripada kehujanan…,” begitu katanya saat saya meminta ijin berteduh.Benar saja, hujan mulai deras, dan kami makin terlihat dalam kesunyian yangpekat. Karena merasa tak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya, sayaberkata, “tolong bikin mie goreng pak, di makan disini saja. Sang Bapaktersenyum, dan mulai menyiapkan tungku apinya. Dia tampak sibuk. Bumbu danpenggorengan pun telah siap untuk di racik. Tampaklah pertunjukkan sebuahpengalaman yang tak dapat diraih dalam waktu sebentar. Tangannya cekatan sekalimeraih botol kecap dan segenap bumbu.
Segera saja, mie goreng yang mengepul telah terhidang. Keadaan yang semulacanggung mulai hilang. Basa-basi saya bertanya, “Wah hujannya tambah deras nih,orang-orang makin jarang yang keluar ya Pak?” Bapak itu menoleh ke arah saya,dan berkata, “Iya dik, jadi sepi nih dagangan saya..” katanya sambil menghisaprokok dalam-dalam.
“Kalau hujan begini, jadi sedikit yang beli ya Pak?” kata saya, “Wah, rezekinyajadi berkurang dong ya?” Duh. Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja, tak banyak yangmembeli kalau hujan begini. Tentu, pertanyaan itu hanya akan membuat Bapak itutambah sedih. Namun, agaknya saya keliru…
“Gusti Allah, ora sare dik, (Allah itu tidak pernah istirahat), begitu katanya.“Rezeki saya ada dimana-mana. Saya malah senang kalau hujan begini. Istri samaanak saya di kampung pasti dapat air buat sawah. Yah, walaupun nggak lebar, tapilumayan lah tanahnya.” Bapak itu melanjutkan, “Anak saya yang disini pasti bisangojek payung kalau besok masih hujan…”
Degh. Dduh, hati saya tergetar. Bapak itu benar, “Gusti Allah ora sare”. AllahMemang Maha Kuasa, yang tak pernah istirahat buat hamba-hamba-Nya. Saya rupanyatelah keliru memaknai hidup. Filsafat hidup yang saya punya, tampak tak adaartinya di depan perkataan sederhana itu. Makna nya terlampau dalam, membuatsaya banyak berpikir dan menyadari kekerdilan saya di hadapan Tuhan.
Saya selalu berpikiran, bahwa hujan adalah bencana, adalah petaka bagi banyakhal. Saya selalu berpendapat, bahwa rezeki itu selalu berupa materi, dan halnyata yang bisa digenggam dan dirasakan. Dan saya juga berpendapat, bahwa saatada ujian yang menimpa, maka itu artinya saya cuma harus bersabar.
Namun saya keliru. Hujan, memang bisa menjadi bencana, namun rintiknya bisamenjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga adalah berkah bagisawah-sawah yang perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namunderai itu pula yang menjadi harapan bagi sebagian orang yang mengojek payung,atau mendorong mobil yang mogok.
Hmm…saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikirantampak seperti lintasan-lintasan cahaya yang bergerak di benak saya. “Ya Allah,Engkau Memang Maha yang Tak Pernah Beristirahat” Untunglah, hujan telah reda,dan sayapun telah selesai makan. Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yangteringat, Gusti Allah Ora Sare….Gusti Allah Ora Sare…
***
Teman, begitulah, saya sering takjub pada hal-hal kecil yang ada di depan saya.Allah memang selalu punya banyak rahasia, dan mengingatkan kita dengan cara yangtak terduga. Selalu saja, Dia memberikan Cinta kepada saya lewat hal-hal yangsederhana. Dan hal-hal itu, kerap membuat saya menjadi semakin banyak belajar.
Termasuk kali ini. Ya, ini adalah hari yang bersejarah buat saya. Saat ini, usiasaya telah bertambah, dan milis ini pun memasuki tahun yang ketiga. Tentu, yatentu, saya merasa bersyukur sekali dengan semua ini. Namun, kadang wujud syukuritu tak tampak kentara dalam runutan hidup yang saya lakoni.
Dulu, saya berharap, bisa melewati tahun ini dengan hal-hal besar, dengansesuatu yang istimewa. Saya sering berharap, saat saya bertambah usia, harus adahal besar yang saya lampaui. Seperti tahun sebelumnya, saya ingin ada hal yangmenakjubkan saya lakukan.
Namun, rupanya tahun ini Allah punya rencana lain buat saya. Dalam setiap doasaya, sering terucap agar saya selalu dapat belajar dan memaknai hikmahkehidupan. Dan kali ini Allah pun tetap memberikan saya yang terbaik. Saya tetapbelajar, dan terus belajar, walaupun bukan dengan hal-hal besar dan istimewa.
Aku berdoa agar diberikan kekuatan…Namun, Allah memberikanku cobaan agar akukuat menghadapinya.
Aku berdoa agar diberikan kebijaksanaan…Namun, Allah memberikanku masalah agaraku mampu memecahkannya.
Aku berdoa agar diberikan kecerdasan…Namun, Allah memberikanku otak danpikiran agar aku dapat belajar dari-Nya.
Aku berdoa agar diberikan keberanian…Namun, Allah memberikanku marabahaya agaraku mampu menghadapinya
Aku berdoa agar diberikan cinta dan kasih sayang…Namun, Allah memberikankuorang-orang yang luka hatinya agar aku dapat berbagi dengannya.
Aku berdoa agar diberikan kebahagiaan…Namun, Allah memberikanku pintukesempatan agar aku dapat memanfaatkannya